Oleh : Drs. Dede Suhendi *)
Runtuhnya Orde Baru yang bermerek Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), telah memberikan harapan baru bagi Indonesia yang lebih baik. Menata kembali (Reformasi) adalah kata kunci untuk Indonesia , hingga semua orang mengatakan pasca Orde Baru sebagai Orde Reformasi.
Euforia reformasi yang bercirikan kebebasan telah berjalan lebih dari duabelas tahun. Namun, harapan yang digantungkan kepada empat presiden di orde reformasi makin menjauhkan dari harapan masyarakat Indonesia. Budaya korupsi terus berlanjut, kemiskinan semakin membengkak, bahkan hak dasar rakyat berupa keamanan, hukum, pendidikan dan kesehatan semakin terabaikan. Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dianggap kemajuan telah memberi memberi dampak pada kekacauan dan kemerosotan moral. Bencana-bencana alam yang terus menerus menggerus negeri ini, belum juga menyadarkan bagaimana manusia-manusia Indonesia untuk bertindak dan berpikir cerdas.
Sudah seharusnya kita segera akui kebodohan kita. Dengan pengakuan inilah, kesadaran belajar akan bangkit. Keterpurukkan Indonesia cukuplah jadi cambuk, untuk cerdas membangun. Dengan belajar dan berpendidikanlah suatu bangsa diharapkan cerdas bertindak dan berbuat untuk kebaikan bangsanya. Bangsa yang cerdas akan mampu mendefinikan arti pembangunan dengan benar, hingga tidak akan terjadi merasa membangun padahal merusak. Cukup banyak pembangunan di bumi Indonesia yang hasilnya adalah kerusakan. Maka, tak ada pilihan lain sebagai syarat kebangkitan Indonesia, yakni meroformasi pendidikan yang kita lakukan saat ini. Bila pendidikan di Indonesia masih berorientasi kepada barat, yang menghasilkan kerusakan moral dan kerusakan alam. Maka sudah saatnya kita arahkan pendidikan kita kepada kemuliaan moral dan keseimbangan alam.
Reformasi pendidikan tak cukup hanya dengan peningkatan anggaran, namun yang penting adalah penetapan arah pendidikan yang tepat. Nilai moralitas yang diusung peradaban barat hanyalah penghias undang-undang, sebab moral tak akan tumbuh dalam paham kebebasan. Kemuliaan moral hanya akan tumbuh subur, bila manusia bersedia taat kepada hukum yang menciptakan alam ini. Bila orientasi tetap diarahkan kepada barat, banyaknya anggaran hanyalah menambah masalah. Rebutan jatah anggaran, penyelewengan serta ketidakadilan akan terus-menerus mengiringi langkah kebijakan pendidikan.
Untuk mempersiapkan generasi yang unggul, aspek kurikulum, ketenagaan, sarana serta pendanaan harus menjadi perhatian serius dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.
Aspek kurikulum yang merupakan aspek isi dalam pendidikan, belumlah mengarahkan pendidikan pada tujuan pendidikan yang sebenarnya. Lihatlah alokasi mata pelajaran serta muatannya. Tujuan pendidikan nasional yang ingin menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia hanya dibeli dengan dua jam pelajaran Pendidikan Agama. Bahkan, sistem pendidikan dan mata pelajaran lain ikut menghapus tujuan takwa tersebut. Pendidikan Agama Islam(PAI) mewajibkan agar umat Islam menutup aurat, sedangkan sekolah tidak mewajibkannya, bahkan tak mampu memisahkan rombel siswa laki-laki dan perempuan. PAI melarang seni patung dan seni tari, namun Seni Budaya mengajarkannya. Seorang Muslim dituntut, bisa membaca Al-Qur’an dan Bahasa Arab, kurikulum tidak mengalokasikannya. Mereka berdalih itu kurikulum disusun tidak berdasarkan agama tertentu, tetapi mengapa Islam yang dikorbankan ? Dalih lain, sekolah jenis keagamaan telah ada, bahkan MDA telah dibangun dimana-mana, namun mana perhatian dan dukungannya, nyaris tak terdengar.
Bila benar tujuan nasional itu dibuat bukan basa basi, tentu pelajaran agama minimal sepertiga dari alokasi jam pelajaran yang ada Tentu kita berharap hasilnya menjadi menjadi manusia yang berakhlak mulia. Tak perlu kita para perumus kurikulum membuat mata pelajaran budi pekerti, sebab konsep budi pekerti telah sempurna dalam pelajaran agama. Akhiri krisis akhlak di masa depan dengan peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan agama. Kemuliaan manusia hanyalah pada orang yang berakhlak mulia.
Ujian Nasional (UN) yang bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan, ternyata telah menimbulkan masalah baru bagi pendidikan. Tiga mata pelajaran telah dijadikan penentu bagi kelulusan siswa, sementara pelajaran lain terabaikan. Terlebih bagi sekolah yang terpadu dengan pondok pesantren. Tahfidzul Qur’an terkalahkan, karena kekhawatiran UN tidak lulus. UN ibarat hantu yang menakutkan, siap memangsa kreativitas dan potensi siswa, serta menghancurkan masa depan siswa dan bangsa. Bila benar pendidikan kita ingin berprestasi, maka hargailah siswa dalam berbagai prestasinya, sekecil apapun. Setiap kepala punya potensi yang dapat bermanfaat bagi bangsa dan negara.
Aspek ketenagaan sebagai central factor pelaksana kebijakan pendidikan adalah aspek penting lain yang perlu mendapat perhatian. Namun sayang perekrutan guru sudah keluar jalur dari yang seharusnya. Pendirian Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang semula menjadi lembaga pencetak tenaga kependidikan, keberadaannya malah diabaikan. Ribuan lulusannya tetap dibiarkan tanpa disalurkan. Sementara jalur pintas guru berupa program Akta IV yang menggeser wewenang lulusan LPTK resmi, parahnya lagi program tersebut hanya bisa ditempuh dalam dua bulan.
Pola penyeleksian CPNS konvensional yang mengandalkan tes tulis harus segera dirubah. Pola tes yang cenderung kurang valid telah mengesampingkan tenaga professional berpengalaman, yakni tenaga honorer. Tenaga Honor, terlebih yang telah lulus sertifikasi yang telah membuktikan pengabdiannya di dunia pendidikan, haruslah jadi prioritas untuk dijadikan PNS andalan. Bukti pengabdiannya tidak hanya dilihat dari bukti fisik administrasi dadakan, namun bukti administrasi dari realita melalui supervisi yang jujur dan berkesinambungan, serta sistem database yang transparan.
Perihal kesejahteraan guru terus menjadi bahan perdebatan. Tingkat kesenjangan kesejahteraan yang tinggi antara yang berstatus PNS dan Guru Honor/GTT telah mencerai-beraikan konsentrasi dalam pencapaian tujuan pendidikan. Pertemuan guru seakan terus berkutat pada masalah kenaikan gaji dan kesejahteraan, bukan pada peningkatan profesional tugasnya. Selayaknya kesenjangan kesejahteraan guru harus segera diakhiri dengan menetapkan bahwa penggajian guru baik negeri maupun swasta adalah tanggung jawab negara. Adanya swasta bukan berarti negara lepas tanggung jawab terhadap kesejahteraan guru di swasta, karena hakekatnya pendidikan tanggung jawab negara. Guru PNS kini telah diatas angin, sementara guru Non PNS gigit jari karena termarginalkan dari perhatian negara.
Perihal peningkatan profesionalisme guru perlu dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, bukan hanya tambah gelar dan pangkat. Seharusnya lembaga penjaminan mutu guru itu adalah Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia, sehingga dapat berkesinambungan mendampingi dinamika guru dan lembaga pendidikan. Kuliah sabtu minggu, atau kuliah super kilat sering menjadi pilihan PNS dalam meningkatkan kepangkatannya. Yang penting ijazah dapat, naik pangkat, sedangkan mutu tak perlu dipertanyakan. Mudah-mudahan program sertifikasi bagi guru dan dosen akan membawa pengaruh positif pada profesionalitas guru.
Aspek kesiswaan sebagai sasaran kegiatan pendidikan. Sebagai customer siswa perlu mendapatkan pelayanan prima. Namun, dalam hal ini bukan berarti siswa adalah raja, yang setiap kehendaknya mesti dipenuhi. Ada sekolah swasta yang menyerahkan penilaian guru dan kebijakan sekolahnya oleh siswanya sendiri, dengan alasan demokratis. Namun apa jadinya, guru hanya boneka mainan bagi siswanya. Lembaga pendidikan yang punya tugas merubah, ternyata harus mengubah idealismenya agar disukai siswanya. Konser musik saat perpisahan, seragam sekolah yang mini dan ketat, budaya pacaran, seluruhnya telah dilegalkan para pendidiknya, asal anak suka. Pendidik, lembaga pendidikan, Dinas dan Departemen Pendidikan harus punya prinsip yang kokoh dalam upaya pembinaan generasi yang akan datang.
Liburan sekolah hampir luput dari perhatian guru, lembaga pendidikan dan departemen pendidikan. Padahal liburan seringkali menambah masalah bagi pendidikan. Terlalu lama atau terlalu sering libur seringkali memberi peluang kepada siswa berbudaya preman. Peraturan sekolah seringkali kalah dengan kebiasaan siswa-siswinya. Peraturan sekolah sering dipandang kuno oleh siswa-siswinya, apalagi budaya kekebasan seringkali diajarkan oleh media televisi. Ya, memang pelayanan pendidikan harus dengan sepenuh hati. Kerjasama dengan media massa, dunia usaha, lembaga sosial adalah tugas-tugas yang selayaknya oleh Departemen Pendidikan Nasional untuk menjamin pembinaan anak bangsa ini. Atau bila mau orientasi terhadap jenis sekolah Boarding School atau Full Day School seyogyanya menjadi alternatif bagi pendidikan nasional.
Aspek sarana adalah aspek penting lain yang tidak bisa diabaikan keberadaannya. Gambaran umumnya gedung sekolah di Indonesia adalah kotor, rusak bahkan ambruk. Padahal disekelilingnya ada rumah-rumah mewah dan kator-kantor perusahaan megah. Dunia pendidikan telah jauh dari perhatian negara, juga masyarakat umumnya. Pembangunan pendidikan dipandang tidak mendatangkan incomeyang cepat. Dunia usaha tak tertarik pada inventasi di bidang pendidikan. Mereka anggap pembangunan pendidikan adalah sebagai pos konsumsi, padahal sebenarnya adalah pos investasi. Investasi itu bukan berarti sekolah adalah pasar yang menjanjikan, namun sekolah harus dipandang sebagai lembaga pencetak tenaga dimasa yang akan datang. Bukankah tenaga manusia adalah central factor dalam manajemen ? Namun sayang, sebagian besar orang lebih tergiur dengan keuntungan uang, hingga sekolah adalah ajang bisnis yang menjanjikan. Adapun investasi tenaga justru terlupakan, seakan tak ada lagi generasi di hari esok. Bila kesadaran terhadap investasi pendidikan tumbuh, kurangnya sarana tak lagi jadi keluhan.
Yang jelas sarana pendidikan haruslah memiliki standar kelayakan, serta pemanfaatan dan pemeliharaan yang berkesinambungan. Sekolah tak harus direpotkan dengan pengajuan dan proposal, namun dinas dan departemen pendidikan seharusnya menganggarkan dananya secara periodik untuk pembangunan dan pemeliharaan sarana ini.
Bantuan dana pendidikan dari pemerintah seharusnya bukan untuk operasional sekolah, sebab fakta menunjukkan biaya operasional sangat abstrak untuk dibuktikan keberadaannya. Biaya rapat, sosialisasi program, perjalanan dinas adalah biaya-biaya yang bisa dibuat siluman. Maka adanya BOS (Bantuan Operasional Sekolah), sebaiknya diganti dengan Bantuan Sarana Sekolah serta Bantuan Kesejahteraan Guru dan Tenaga Kependidikan, sedangkan operasional masih dapat ditanggung Komite Sekolah, tentunya dalam batas-batas yang wajar.
Aspek implementasi bagi kehidupan, adalah aspek out put pendidikan yang perlu dipikirkan. Betapa banyak lulusan pelajar dan sarjana hanya menambah daftar pengangguran, padahal sekolah tak sekedar menanti umur dan bermain-main. Sekolah seharusnya diartikan sebagai penggodokan generasi untuk masa yang akan datang. Departemen Pendidikan hendaknya penjadi penanggungjawab akan kebutuhan tenaga masa yang akan datang. Bila sepuluh tahun lagi dibutuhkan seribu dokter, maka kelas dua SD harus dapat dipersiapkan kader-kadernya. Begitu pula dengan kebutuhan lain. Adapun kebutuhan terhadap akhlak mulia adalah kebutuhan dasar bagi setiap tenaga, maka pembinaan akhlak harus merata diterima oleh setiap siswa.
Cobalah tengok anak-anak kita lulusan SMA hari ini, apa yang mereka bisa ? Dari hasil pendidikan agamanya, tak bisa baca al-Qur’an, serta moral yang memprihatinkan. Dari hasil Bahasa Indonesianya, mereka tak bisa berkarya tulis menuangkan gagasannya yang jernih. Dari hasil Bahasa Inggrisnya, mereka tak bisa membaca, apalagi berbicara. Dari hasil Matematikanya? Menghitung prosentase saja kebingungan. Dari hasil IPA-nya, mereka tak paham keseimbangan lingkungan hidup, dari hasil IPS-nya, mereka juga tak paham fenomena lingkungan sosialnya. Apa yang dapat dibanggakan dari generasi muda kita ? Berita yang berprestasi dari mereka hanyalah kasus yang sangat jarang.
Reformasi Indonesia, hendaknya diawali dari reformasi pendidikan. Reformasi pendidikan tak sekedar kesepakatan anggaran 20 % dari APBN dan APBD, namun yang lebih utama adalah keinginan dan kemauan negara untuk menata generasi bangsa yang lebih berperadaban. Reformasi pendidikan harus kita mulai saat ini juga, bila tidak, kehinaan dan penyesalan akan didapatkan. Bangkitlah Indonesia dengan pendidikan yang bermartabat.
*) Kepala SMP Terpadu Al-Muttaqin Beber Cirebon